Minggu, 31 Oktober 2010

yaa rabb...titip ibu saya..

“Nak, bangun… udah adzan subuh. Sarapanmu udah ibu siapin di meja…”
Tradisi ini sudah berlangsung 17 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat.
Kini usiaku sudah kepala 2 dan aku jadi seorang Mahasiswa dan freelancer di suati rumah kreatif, tapi kebiasaan Ibu tak pernah berubah.

“Ibu sayang… ga usah repot-repot Bu, aku dan adik-adikku udah besar..” pintaku pada Ibu pada suatu pagi.

Wajah tua itu langsung berubah. Pun ketika Ibu mengajakku makan siang di sebuah restoran. Buru-buru kukeluarkan uang dan kubayar semuanya. Ingin kubalas jasa Ibu selama ini dengan hasil keringatku.

Raut sedih itu tak bisa disembunyikan. Kenapa Ibu mudah sekali sedih?

Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya aku mengalami kesulitan memahami Ibu karena dari sebuah artikel yang kubaca … orang yang lanjut usia bisa sangat sensitive dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak ….. tapi entahlah….

Niatku ingin membahagiakan malah membuat Ibu sedih.

Seperti biasa, Ibu tidak akan pernah mengatakan apa-apa.

Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya,
“Bu, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan Ibu. Apa yang bikin Ibu sedih? ”
Kutatap sudut-sudut mata Ibu, ada genangan air mata di sana.

Terbata-bata Ibu berkata,”Tiba-tiba Ibu merasa kalian tidak lagi membutuhkan Ibu. Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ibu tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ibu tidak bisa lagi jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri ”

Ah, Ya Allah, ternyata buat seorang Ibu .. bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan. Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya.

Niat membahagiakan bisa jadi malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang masing-masing.

Diam-diam aku bermuhasabah. .. Apa yang telah kupersembahkan untuk Ibu dalam usiaku sekarang ? Adakah Ibu bahagia dan bangga pada putera putrinya ?

Ketika itu kutanya pada Ibu, Ibu menjawab, ” Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada Ibu. Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan . Kalian berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat Ibu. Kalian berprestasi di pekerjaan adalah kebanggaan buat Ibu . Setelah dewasa, kalian berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat Ibu. Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua.”

Lagi-lagi aku hanya bisa berucap, “Ampunkan aku ya Allah kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada Ibu. Masih banyak alasan ketika Ibu menginginkan sesuatu. ”

Betapa sabarnya Ibuku melalui liku-liku kehidupan, beliau bekerja sambilan sebagai kasir di rumah makan milik kakekku.. Sebagai seorang pekerja seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan Ibuku untuk “cuti” dari pekerjaan rumah atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu.

Tapi tidak! Ibuku seorang yang idealis. Menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun.

Pukul 3 dinihari Ibu bangun dan membangunkan kami untuk tahajud.

Menunggu subuh Ibu ke dapur menyiapkan sarapan sementara aku dan adik-adik sering tertidur lagi…
Ah, maafkan kami Ibu … 18 jam sehari sebagai “pekerja” seakan tak pernah membuat Ibu lelah.. Sanggupkah aku ya Allah ?

” Nak… bangun nak, udah azan subuh .. sarapannya udah Ibu siapin dimeja.. ”
Kali ini aku lompat segera.. kubuka pintu kamar dan kurangkul Ibu sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya lekat-lekat dan kuucapkan,

” Terimakasih Ibu, aku beruntung sekali memiliki Ibu yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan Ibu…”.
Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan. .. Cintaku ini milikmu,Ibu. ..

Aku masih sangat membutuhkanmu. .. Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu..

=====

Sahabat.. tidak selamanya kata sayang harus diungkapkan dengan kalimat”aku sayang padamu… “, namun begitu, Rasulullah menyuruh kita untuk menyampaikan rasa cinta yang kita punya kepada orang yang kita cintai karena Allah.

Ayo kita mulai dari orang terdekat yang sangat mencintai kita … Ibu dan ayah walau mereka tak pernah meminta dan mungkin telah tiada.

Percayalah.. . kata-kata itu akan membuat mereka sangat berarti dan bahagia.

Wallaahua’lam

“Ya Allah, cintai Ibuku, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan Ibu…, dan jika saatnya nanti Ibu Kau panggil, panggillah dalam keadaan khusnul khatimah. Ampunilah segala dosa-dosanya dan sayangilah ia sebagaimana ia menyayangi aku selagi aku kecil. Titip Ibuku ya Allah”

ttg mimpi..nikah..dan jihad..

Pada suatu hari laki-laki bernama Julaibiib menghadap Rasulallah Saw. Julaibiib adalah orang yang sangat melarat.
Dia bertanya: “Ya Rasulallah! Jika aku mati dalam keadaanku yang beriman ini apakah Allah SWT akan memasukkan aku ke dalam surga dan mengawainkan aku dengan bidadari?

“Ya tentu, insya Allah!”jawab Rasulallah Saw. “Mengapa sahabat-sahabat Tuan setiap yang aku lamar puterinya, semua menolak dan tidak menikahkan puterinya denganku?” tanya Julaibiib lagi.

“Pergilah kamu ke rumah keluarga fulan dan katakanlah kepadanya bahwa Rasulallah Saw memerintahkan kepada Anda agar menikahkan puterinya kepadaku,”jawab Rasulallah.

Keluarga itu pun akhirnya sepakat untuk menikahkan Julaibiib dengan putri mereka. Akan tetapi sebelum Julaibiib sempat masuk ke kamar pengantin, dia mendengar panggilan masuk berjihad. Maka dia pun lari dan bergabung dengan pasukan perang.

Ketika perang telah usai, Rasulallah Saw bertanya kepada para sahabat: “Siapa diantara kawan-kawan kalian yang sekarang tidak tampak dan mugkin menjadi syahid?” Para sahabat pun menyebutkan beberapa nama, tetapi tidak menyebut nama Julaibiib karena dia belum banyak dikenal.

Lalu Rasulallah Saw bersabda: “Apakah aku justru kehilangan Julaibiib, marilah kita bersama mencarinya!”
Akhirnya, Rasulallah Saw menemukan jasad Julaibiib tergeletak mati sebagai syahid di tengah tujuh mayat orang kafir yang baru dilawannya. Lalu Rasulallah Saw pun duduk di samping jasad Julaibiib dan mengangkat kepalanya ke pangkuan beliau sambil menangis. Tetapi sesaat kemudian beliau tersenyum dan memalingkan wajahnya. Maka para sahabat pun bertanya: “Sungguh aneh sekali keadaan Tuan, ya Rasulallah! Tuan menangis lalu tersenyum dan memalingkan wajah Tuan?”

Rasulallah bersabda: “Ya, aku menangis karena perpisahan dengan saudaraku ini, dan aku tersenyum ketika Allah memperlihatkan kepadaku tempatnya di surga. Aku palingkan wajahku ketika aku melihat istrinya, seorang bidadari dari suraga, aku turun ke bumi lalu masuk di antara kulit dan bajunya, kemudian mengakatnya ke surga di haribaan-Nya, di alam kelanggengan.”

ABSURDnya azas liberal dari seni modern

Landasan kebebasan(liberal) yang menjadi ciri khas seni modern
pada konseptualnya memiliki beberapa aspek yang dapat dianggap ABSURD.
Azas liberal dalam seni modern menganggap bahwa kebebasan seniman dalam berkarya harus dibebaskan sebebas bebasnya tanpa lagi melihatn pertimbangan aspek
yang lain. Seni modern menganggap bahwa proses berkarya seni haruslah dilandaskan ego si seniman sehingga yang menjadi tolak ukur proses berkarya seniman modern adalah parameter nilai yang ada
pada seniman itu sendiri.
hal ini sebenarnya sah2 saja manakala proses berkarya atau berkesenian sang seniman ditunjukan hanya untuk dinikmati oleh diri sendiri tanpa bersinggungan atau berinteraksi dengan manusia lainnya.
Misalnya sang seniman menciptakan sebuah karya diruangan sepi tanpa ada manusia lainnya, lalu karya itu disimpan di ruangan sepi tanpa ada manusia lainnya, lalu karya itu disimpan di ruangan pribadi
yang hanya dapat dimasuki oleh seniman itu sendiri, lantas lukisan yang terpampang di ruangan pribadi itu kemudian dinikmati oleh seniman tersebut.
Namun seperti itukah proses berkesenian yang diharapkan..? tentu tidak bukan!!!??

Drs. Dharsono M.sn (rektor kepala STSI Surakrta) yang menyatak bahwa TERDAPAT 3 KOMPONEN UTAMA PEMBANGUN KESIDUPAN SENI,
YAITU: SENIMAN, KERYA SENI, DAN APRESIATOR. TIDAK SATUPUN KOMPONEN TERSEBUT DAPAT DIABAIKAN KEBERADAANNYA KARENA KESATUANNYA YANG DINAMIS MEMUNGKINKAN SENI HIDUP DAN BERKEMBANG DENGAN PROSSESNYA YANG KREATIF DAN DINAMIS PULA.

lalu ada juga pendapat dari filsuf plato yang menyatakan bahwa SENI DAN MASYARAKAT MERUPAKAN HUBUNGAN TAK TERPISAHKAN.

Sehingga jelaslah dalam proses berkesenian yang dilakukan oleh seniman akan memiliki ikatan terhadap lingkungan sosial di sekitarnya.
Dengan alasan inilah maka azas kebebasan (liberal) yang biasa diwancanakan adalah oleh sebagian openggiat seni modern pada dasarnya adlah wancana ABSURD, rancu, dan nonsense (omong kosong).
kebebasan yang diwancanakan sungguh bertolak dari pemikiran yang jernih dan komprehensif serta tidak relevan dengan fithrah manusia.
Hal ini berbeda dengan azas seni dalam islam, tiap individu manusia dalam islam diberikan kebebasan untuk melakukan exploitasi kreatifitas dalam segala hal
termasuk dalam berkesenian, namun kebebasan tersebut tetap memiliki batasan2 yang harus diperhatikan. Batasan2 tersebut diantaranya adalah pertimbangan sesuai atau tidaknya kegiatan berkesenian dengan tuntunan Allah, sesuai atau tidaknya tuntunan Allah pada interaksi kehidipan sosial bermasyarakat, serta sesuai atau tidaknya dengan tuntunan Allah pada fithrah yang ada pada manusia sebagai subjek seni itu sendiri.
Maka dengan azas islam yang kompleks, komprehensif, serta seimbang ini, seorang seniman akan mampu melaksanakan kegiatan berkeseniannya sengan kreatif dan dinamis namun tetap terjaga keharmonisannya dengan Allah, alam, diri sendiri, serta manusia lainnya. Wallahualam...

ya..
itulah itu senimu...
tapi inilah ini dunia milik_Nya....

nggak ada pemuda!! kecuali ali!!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,
dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan disini,
bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an
Kisah ini disampaikan
agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah
bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi
dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu
Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba.

dari seorang ayah..untuk putrinya.

Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya.. akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya.

Lalu bagaimana dengan Ayah?

Mungkin karena Mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari, tapi tahukah kamu, jika ternyata Ayah-lah yang mengingatkan Mama untuk menelponmu?

Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng, tapi tahukah kamu, bahwa sepulang Ayah bekerja dan dengan wajah lelah Ayah selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?

Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil.. Ayah biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. Dan setelah Ayah mengganggapmu bisa, Ayah akan melepaskan roda bantu di sepedamu...

Kemudian Mama bilang : "Jangan dulu Ayah, jangan dilepas dulu roda bantunya"
Mama takut putri manisnya terjatuh lalu terluka....

Tapi sadarkah kamu?

Bahwa Ayah dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.

Saat kamu sakit pilek, Ayah yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata: "Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!".
Berbeda dengan Mama yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut. Ketahuilah, saat itu Ayah benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.


Ketika kamu menjadi gadis dewasa.... dan kamu harus pergi kuliah dikota lain... Ayah harus melepasmu di bandara.
Tahukah kamu bahwa badan Ayah terasa kaku untuk memelukmu?
Ayah hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini - itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati...
Padahal Ayah ingin sekali menangis seperti Mama dan memelukmu erat-erat.
Yang Ayah lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata "Jaga dirimu baik-baik ya sayang".
Ayah melakukan itu semua agar kamu KUAT...kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.


Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah Ayah.
Ayah pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain.


Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana.
Ayah adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu.
Ayah akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang...


Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada Ayah untuk mengambilmu darinya.
Ayah akan sangat berhati-hati memberikan izin...
Karena Ayah tahu.....
Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.
Dan akhirnya.... Saat Ayah melihatmu duduk di Panggung Pelaminan
bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, Ayah
pun tersenyum bahagia....


Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu Ayah pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis?
Ayah menangis karena sangat berbahagia, kemudian Ayah berdoa.... Dalam lirih doanya kepada Tuhan, Ayah berkata: "Ya Tuhan tugasku telah selesai dengan baik.... Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik.... Bahagiakanlah ia bersama suaminya..."
Setelah itu Ayah hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk...
Dengan rambut yang telah dan semakin memutih...
Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya....
Ayah telah menyelesaikan tugasnya....

Terima Kasih Ayah...

saya ini sedang futur...

Puisi ini...
pernah ada di Mading DKM Al-Muttaqien...
yaa..
tempat yg menjadi slhsatu titik balik hidup si Isha Muhammad ini...
tempat yg membuka relunghati ttg bgaimana seharusnnya memaknai konsep hidup..
tempat yg membisikan kepada jiwa..bahwa kita memiliki tanggungjawab untuk brdakwah terhadap sesama..

Kapan Qta ngumpul lagi...
yoo..mujahid2 muda..
Mujahid2 yg masih SMA...
haha..
mungkin sekarang ada yg udeah tua..
heheu..
ada yg berkeluarga...





Judulnyaa...
Saya ini..sedang Futur...

saya ini sedang futur
baca qur'an enggan, nonton tv doyan
baca qur'an nggak berkesan, nonton sinetron dan cek & ricek malah
ketagihan
nonton bolapun ngga pernah ketinggalan
saya ini sedang futur
jarang baca buku dan majalah islam
lagi demen baca komik sinchan dan detektif conan
saya ini sedang kalah
perhatikan sikap saya
yang mudah menyerah dan putus asa
yang inisiatifnya lemah cuma bisa nunggu perintah
yang mudah marah belum bisa ramah
yang merasa tidak dibutuhkan karena kurang mendapat perhatian
saya ini sedang ftur
hanya bisa berkata tanpa bisa membuktikan
hanya bisa berjanji tanpa usaha menepati
saya ini sedang futur
tak lagi pandai menjaga pandangan
sering curi-curi pandang
MUDAH TERSERANG VIRUS CINTA
apalagi sama PARTNER DAKWAH SAYA
akhirnya melupakan hakikat cinta yang sebenarnya
saya ini sedang futur
walau takut azab, tak pernah sekali terisak
malah senangnya terbahak
saya ini sedang futur
malas berdoa
maunya pasrah tanpa usaha
saya ini sedang futur
lihat perut saya makin membuncit
karena junkfood serta pangsit
saya ini sedang futur
tak lagi pandai bersyukur
sudah mulai tidak jujur
senang disanjung dikritik murung
saya ini sedang futur
malas ngurusin keluarga
rajin menggunjing keluarga
sedikit sekali muhasabah
senang sekali menggibah

YA ..... SAYA INI SEDANG FUTUR

YA ALLAH , DZAT YANG MAHA MEMBOLAK-BALIKAN HATI,
DAN PENGLIHATAN , TETAPKANLAH HATIKU DIATAS AGAMAMU
YA ALLAH, SESUNGGUHNYA AKU BERLINDUNG KEPADA-MU
DARI KELEMAHAN DAN KEMALASAN DARI SIKAP PENGECUT TUA RENTA DAN KIKIR.
YA ALLAH, AKU BERLINDUNG KEPADAMU DARI SIKSA KUBUR DAN DARI FITNAH
WAKTU HIDUP
ATAUPUN KETIKA MATI


YA ALLAH JADIKANLAH AMALANKU ADALAH KARENA ENGKAU,..

Wallahualam...

nikah muda....katanya..??

Nikah memang punya banyak makna. Ia bisa berarti menegakkan sunnah Rasul. Bisa juga sebagai pemenuhan tuntutan fitrah. Juga, sebagai penyambung keberlangsungan hidup umat manusia. Ada hal lain buat mereka yang nikah di usia muda. Nikah juga bermakna perjuangan.

Hampir tak satu pun manusia yang betah membujang. Selalu saja ada hasrat untuk hidup berpasangan. Pria rindu ingin bersama wanita. Dan wanita kangen disayang pria. Hasrat-hasrat alami itu akan punya nilai tinggi dalam taman indah yang bernama nikah.

Masalahnya, bagaimana keindahan taman itu jika ikatannya terjalin di saat muda. Muda usia, muda pengalaman, muda pendidikan, dan muda penghasilan. Saat itulah terjadi pertarungan yang lumayan sengit: antara idealita dengan realita. Antara cita-cita tinggi dengan kenyataan hidup yang mesti dilakoni. Dan pertarungan itulah yang kini dialami Jaka.

Dua tahun sudah calon bapak ini mengarungi bahtera rumah tangganya. Seribu satu suka dan duka ia nikmati bersama isteri tercintanya. Kadang ia berkesimpulan bahwa nikah itu anugerah indah. Sedemikian indahnya, sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Tapi, tak jarang kesimpulan sebaliknya bisa hinggap. Jaka juga kerap berkesimpulan bahwa nikah merupakan perjuangan yang teramat berat.

Awalnya, bayang-bayang indah pernikahan lebih dominan dari perjuangannya. Walau baru setahun lulus sekolah menengah atas, Jaka sudah punya tekad bulat: “Saya harus nikah, insya Allah!” Dan, tekad itu benar-benar menggulir walau mesti melalui rel yang tidak mulus.

Mungkin, banyak pihak di sekitar Jaka yang geleng-geleng kepala. Ada apa dengan anak ini? Apa ia tergolong hiper seks. Atau, jangan-jangan sudah terjadi kecelakaan. Atau…? Masih banyak lagi dugaan yang tidak enak didengar oleh seorang Jaka yang juga aktivis rohis di sekolahnya.

Dan yang tidak kalah sengitnya adalah orang tua Jaka sendiri. Ayah ibunya bingung. Kok, anak saya jadi begini. Apa ini pengaruh dari ajaran rohis? Orang tua Jaka yakin seratus persen kalau Jaka tidak mungkin melakukan penyimpangan. Jangankan hubungan gelap, hubungan terang saja tak pernah diperlihatkan Jaka. Boro-boro dua-duaan, ketemu wanita saja Jaka sudah alergi: pandangannya tertunduk, wajahnya pucat, tubuhnya banjir keringat. Lalu?

“Saya bertekad nikah karena ingin segera dapat surga dunia dan akhirat,” jawab Jaka tenang. Kontan saja, kedua orang tua Jaka tertegun. Hampir tak ada celah buat menjegal tekad Jaka. Sejak SMP, Jaka memang sudah rajin dagang. Ia memang bukan tipe anak yang suka berlidung di balik kantong orang tua. Semua biaya sekolahnya hampir seratus persen mengucur dari kocek sederhananya. Termasuk, biaya buat walimahan.

Saat itu, tak ada bayang-bayang pun yang melintas di benak Jaka kecuali keindahan. Betapa sejuknya hati ketika menatap senyum isteri. Betapa semangatnya hidup ketika cinta tak pernah redup. Betapa tenangnya pandangan mata ketika syahwat tak lagi terpenjara. Dan, betapa mantapnya iman ketika nafsu tak lagi gampang dipermainkan setan.

Berlangsunglah masa-masa indah kehidupan Jaka. Hari berganti hari dan bulan pun menjumpai tahun. Ternyata, hidup tak selamanya penuh pesona wewangian taman bunga. Ada kalanya hidup penuh bara api dan asap tebal yang menyesakkan. Idealita sering tak cocok dengan realita. Dan nada-nada itulah yang kini bersenandung mengiringi keluarga Jaka.

Bisnis serabutannya tak lagi lancar seperti dulu. Ada saja masalahnya. Madu yang biasa dilakoni Jaka kurang diminati pelanggan. Pedagang koran pun mulai bertebaran. Kian banyak saingan di sektor ini. Sementara, biaya kuliahnya kian naik. Biaya kontrak rumah pun mulai melonjak. Isteri mulai ngidam. Tubuhnya lemas, perutnya mual-mual, kepalanya sering pusing-pusing. Tentu saja, sang isteri tak lagi sempurna menunaikan urusan rumah tangga dan kampus. Apalagi mencari penghasilan sampingan.

Mulailah irama ketidakstabilan mengiringi hidup Jaka. Konflik pun kian bermunculan. Seperti saat ini saja, Jaka bingung mau pinjam duit ke siapa lagi. Bulan lalu sudah pinjam ke teman kampus. Minggu lalu pinjam ke teman pengajian. Sementara, kebutuhan terus mengalir dan tak kenal penundaan. Ke orang tua?

Ini yang paling dijaga Jaka. Seberat apa pun beban hidup, Jaka tak mau berurusan dengan orang tua. Ia bukan ragu tentang kemurahan orang tuanya. Bukan juga takut. Tapi, Jaka tak mau kalau idealismenya luntur hanya karena soal makan. Terlebih setelah Jaka janji tak mau ngerepotin orang tua.

Kadang, suasana kejepit seperti itu menumbuhkan bayang-bayang masa lalu. “Kamu yakin nggak akan menyesal, Jaka?” pertanyaan-pertanyaan ibunya dua tahun lalu tak jarang menggoda ketegarannya. Kenapa nggak selesai kuliah dulu. Kenapa nggak cari kerja yang enak dulu.Kenapa nggak beli rumah dulu.

“Benarkah saya menempuh rute jalan yang salah?” sebuah pertanyaan menukik tajam ke lubuk hati Jaka. Ah, benarkah? Sikap tegar Jaka kian sengit bertarung dengan kegelisahannya. Kadang tegar menguasai keadaan. Dan tak jarang, gelisah menyetir suasana. Dalam pertarungan imbang itu, sikap kritis Jaka kerap menjadi penengah. Mestikah roda hidup selalu bergulir secara seri dan linier? Tidakkah mungkin ada lompatan-lompatan?

Ketegarannya mulai menguasai keadaan. Masih kuat dalam benak Jaka kisah teladan Rasul dan para sahabat. Sebuah fragmen hidup masa lalu yang tak kunjung kering dari air pelajaran. Siapa yang mengira kalau seorang penggembala yatim bisa menjadi pemimpin besar umat ini. Siapa yang menyangka kalau seorang budak, Bilal bin Rabbah, bisa tampil menjadi pemimpin yang disegani. Siapa yang menyana kalau seorang budak buangan, Zaid bin Haritsah, bisa melahirkan seorang panglima perang yang ditakuti.

Hidup memang perjuangan. Suka dan duka pasti akan menjambangi setiap manusia. Tak peduli apakah manusia itu menganggap hidup sebagai perjuangan atau tempat bersantai. Jaka tersadar dengan keadaannya. Kini, bukan saatnya lagi mempersoalkan halte hidup yang telah terlewati. Ada dua resep yang akan ditebus Jaka: hadapi hidup apa adanya, dan jangan coba-coba lari dari kenyataan perjuangan.

Kesusahan dan kemudahan tak ubahnya seperti dua muka kepingan uang logam. Satu sama lain tak akan berpisah jauh. Bersama kesusahan ada kemudahan. Sungguh, bersama kesusahan ada kemudahan. Kesusahanlah yang menguatkan bahwa menikah itu perjuangan. Dan kemudahan, insya Allah, kian menguatkan warna-warni indahnya pernikahan.

Lelaki Sejati!!

Seorang remaja pria bertanya pada ibunya:
"Ibu, ceritakan padaku tentang Laki-laki sejati...!!!", Sang Ibu tersenyum dan menjawab...



Laki-laki Sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar, tetapi dari kasih sayangnya pada orang disekitarnya....

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang, tetapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran.....

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa ...

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia di hormati ditempat bekerja, tetapi bagaimana dia dihormati didalam rumah...

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan, tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan...

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang, tetapi dari hati yang ada dibalik itu...

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja, tetapi komitmennya terhadap akhwat yang dicintainya...

Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan, tetapi dari tabahnya dia mengahdapi lika-liku kehidupan...

Laki-laki Sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca Al-Quran, tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca...




....setelah itu, ia kembali bertanya...

" Siapakah yang dapat memenuhi kriteria seperti itu, Ibu ?"

Sang Ibu memberinya buku dan berkata.... "Pelajari tantang dia..." ia pun mengambil buku itu

"MUHAMMAD SAW ", judul buku yang tertulis di buku itu